ND Genotipe 7
Tidak sebagaimana karakter serangan ND sebelumnya yang spesifik menyerang sistem pernafasan dan pencernaan, virus ND yang belakangan muncul, menyerang ayam dengan ekspresi kerusakan seluruh organ tubuh. Dengan pemeriksaaan laboratorium, virus dapat ditemukan dalam semua sampel organ tubuh, meliputi sistem pernafasan, pencernaan, syaraf dan imunitas. Tingkat keganasannya tinggi, sehingga dinamai VVND (Viscerotrophic Velogenic Newcastle Disease).
Ramai disebut, virus ini masuk dalam kelompok genotipe 7. Sebelumnya, sebagaimana dianut selama ini, yang banyak berkembang di Indonesia adalah virus-virus dari kelompok genotipe 2. Dan vaksin yang beredar di pasaran adalah produk impor dengan master seed (benih vaksin) virus-virus dari kelompok 1 dan 2. DR Teguh Yodiantara Prajitno, Presiden Direktur PT Vaksindo Satwa Nusantara meyakini dominasi virus genotipe 7 di lapangan saat ini. (TROBOS eds Oktober 2010 juga sudah memuat keterangan Teguh dan pohon filogenik virus ND versi Vaksindo).
Keyakinannya itu didasarkan pada hasil isolasi virus dari kejadian ND terkini di lapangan. Pihaknya melakukan uji identitasdengan isolasi virus dan dikukuhkan dengan DNA sequencing dengan sampel dari Medan, Palembang, Jambi, Lampung, Bali, Makassar dan sepanjang Pulau Jawa serta Banjarmasin. Hasilnya, semua masuk dalam kelompok genotipe 7. “Kasus ND dengan kematian tinggi atau gejala berat, apabila dilakukan pemeriksaan sampel organ proventriculus, limfa dan otak, pasti akan ditemukan virus genotipe 7,” tegas doktor biomolekuler tamatan Jerman ini.
Jarak Genetik Jauh
Gambaran sebangun disodorkan Witarso, Regional Manager PT Medion. Isolasi virus lapang sepanjang kurun 2009 – 2010 di 12 kota dengan 35 isolat dilakukan Medion bekerjasama dengan Laboratorium Virologi FKH Universitas Udayana, Bali. Hasilnya, semua isolat virus masuk dalam kelompok genotipe 7b. “Ini merujuk pada susunan asam aminonya,” kata dokter hewan ini. Ditambahkan dia, virus genotipe 7b tersebut identik dengan virus yang merebak di Negeri Jiran, Malaysia beberapa waktu lalu.
Teguh menyajikan fakta berikutnya, hasil sequencing (pemetaan DNA) dari virus lokal tersebut kecocokannya dengan lasota hanya 82,7%. Dan di dalam genotipe 7, meski dalam satu kelompok, sampel asal daerah berbeda menunjukkan perbedaan juga. Misalnya Banjarmasin dan Sukorejo memiliki perbedaan 8 %. Artinya, Teguh dan Witarso mengatakan, jarak genetik vaksin yang beredar dengan virus lapang sudah jauh.
Koreksi Parameter Protektif
Kriteria protektivitas vaksin, dalam pandangan Teguh perlu dikoreksi. Selama ini parameternya kematian. Uji tantang yang memberikan hasil 100 % tetap hidup dinyatakan protektif. Padahal, kendati tidak mati oleh tantangan virus, replikasi dalam tubuh ayam terus berlangsung dan terjadi shedding (pelepasan virus melalui feses) sehingga mencemari lingkungan dan menyebar sebagai sumber penularan. “Selain itu, pada kasus layer dan breeder, ayam terinfeksi tidak mati tetapi produksi dan kualitas telur turun signifikan. Kerugian yang ditanggung tidak dihitung, dan itu tidak kecil,” tandasnya. Fenomena ini tidak terjadi apabila antibodi yang terbentuk dari vaksinasi tingkat kecocokannya tinggi dengan antigen (virus) lapang yang memapar.
Revaksinasi Berlebihan
Witarso maupun Teguh menyayangkan langkah di lapangan yang banyak ditempuh peternak layer atau breeder yang melakukan revaksinasi tidak terkendali. Interval vaksin live yang kaidahnya 6 – 8 minggu, sekarang sudah jamak diulang tiap 4 minggu, bahkan 3 minggu. “Melakukan hal yang sama, berkali-kali dan berharap hasil yang berbeda. Mengharapkan suatu kegilaan,” sesal Teguh sambil mengutip Albert Einstein.
Sebagaimana juga ditempuh Suyanto, pemilik 60 ribu layer di Tangerang. Ia rutin tiap 4 pekan memvaksinasi ayam-ayamnya dengan ND live. Sementara killed vaccine diberikannya 5 – 6 kali tiap periode. Diakuinya, ND mendapat prioritas perhatian dalam usahanya, terutama di cuaca ekstrem seperti akhir-akhir ini. “Karena itu, ND sudah jadi bagian dari usaha peternakan layer saya,” ujarnya enteng.
sumber : trobos